Sambal Goang Tidak Hanya Pedas



SAMBAL atau sambel bagi urang Sunda adalah teman akrab ketika makan yang menjadikan kegiatan santap-menyantap terasa nikmat di lidah. Rasa pedas yang menyebabkan keringat menetes dari dahi  dan sesekali dari bibir terucap “suhah” tidak membuat kapok urang Sunda mengkreasi beragam sambal. Salah satu kreasi itu adalah “sambel goang” dan bisa dibuat siapa saja tanpa memandang usia.
Ketika saya kecil, misalnya, untuk menemani nasi liwet hangat ditemani asin sepat, tumis kangkung dan goreng tempe, selalu menyempatkan diri mengulek “sambel goang”. Bahan-bahannya sangat merakyat dan tersedia di kebun. Cukup dengan cengek (cabai) ditambah garam, saya sudah bisa menikmati hangatnya tubuh di tengah-tengah alam pedesaan yang begitu dingin.

Di setiap perkampungan, sambal hampir pasti dijadikan penambah selera nafsu makan keluarga. Begitu juga di rumah makan atau restoran yang menyajikan makanan khas Sunda, akan terasa tidak komplit kalau sambal tidak dihidangkan di meja pelanggan. Konon, “sambel goang” berasal dari campurbaur antara basa Sunda dan betawi, yakni “sambel” dan “doang”. Ketika diucapkan urang Sunda maka menjadi “sambel goang”.
Dari beragam jenis sambel yang ada di tatar Sunda, hanya “sambel goang” yang mencerminkan kesederhanaan hidup. Juga menyimbolkan relasi kosmik yang harmonis antara warga Sunda dengan alam sekitar. Dalam bahasa lain, alam dan manusia Sunda saling membutuhkan.

Kapok, jemu, bosan, dan tak akan mengulangi lagi seolah tidak berlaku bagi urang Sunda yang menyukai sambal. Meskipun sambal akan mengakibatkan mencret-mencret, panas dalam, apalagi kalau disantap orang yang sedang sariawan, tidak menjadikannya hilang dari menu makanan khas Sunda. Ketidakjeraan terhadap pedasnya sambel ini juga mengakibatkan ulama pedesaan sering menyinggung ketaksungguh-sungguhan bertobat dengan “tobat sambel”.

Rasa cengek yang pedas bisa menghangatkan suhu tubuh sehingga masyarakat yang hidup di daerah dingin dapat mengusir rasa dinginnya. Karena itulah, sambel pada sebagian masyarakat Sunda posisinya bagai dua sisi mata uang. Dalam bahasa lain, tidak dapat dipisahkan dari menu makanan khas Sunda.

Selain rasa pedas, sambel goang juga ditambah dengan garam agar terasa asin. Kalau lebih kreatif, akan ditambah dengan kecap kehitam-hitaman sehingga rasa manis sedikit terasa dilidah. Berkaitan dengan garam dalam komposisi sambel goang, lagi-lagi Ki Sunda memproduksi bahasa sebagai hasil refleksi mendalam atas kesukaan urang Sunda terhadap rasa asin. Ya, produk bahasa itu adalah “teu uyahan”, yang dijadikan sebutan bagi orang yang tak memiliki tata karma, kesopansantunan, dan bertindak kriminal.
Rasa manis juga ternyata memengaruhi urang Sunda untuk memproduksi bahasa yang menyebutkan budi baik seseorang, yakni “amis budi”. Hal itu mengindikasikan bahwa ketika urangSunda mencicipi sesuatu dan menyukainya akan melahirkan suatu kerangka nilai yang diyakini sebagai baik dan buruk. Inilah simbolisasi bahasa yang cerdas dan cergas dari Ki Sunda, sehingga bahasa Sunda terlihat fleksibel, dinamis, dan selalu berkembang.

Seperti yang diungkapkan Acep Iwan Saidi bahwa budaya atau “culture” secara semiologis berdekatan dengan kata “nature” yang berarti budaya merupakan hasil dialektika manusia dengan alam (nature). Begitulah yang terjadi dengan sambel di dalam kehidupan masyarakat Sunda. Dari rasa yang terdapat dalam komposisi sambal lahirlah istilah-istilah etika moral Sunda seperti “teu uyahan (tidak punya rasa malu)”, “amis budi (sopan santu)”, dan “tobat sambel (tidak sungguh-sungguh)”.


Tedi Muhtadin, seorang pengajar Sastra Unpad, tahun 2002 pernah menulis artikel tentang keterkaitan “sambel goang” dan produksi bahasa. Katanya, sambel goang merupakan aktualisasi bahasa dari “resep” tentang “sambel goang”. Resep yang digunakan  untuk membuat sambal ini saya rasa merupakan cita rasa khas Sunda yang memengaruhi sikap dan falsafah hidupnya.”Goang” atau “doang” atau “an sich” adalah falsafah hidup yang mencerminkan kesederhanaan, nrimo, dan bersyukur atas nikmat hidup. Sebab, banyak orang yang dilarang oleh dokter untuk mengonsumsi sambal. Di dalam masyarakat Sunda, hari ini “sambel goang” bisa diperoleh di restoran-restoran yang menyajikan ikan bakar, tempe goreng, lalap, dan nasi hangat (liwet) yang aduhai nikmatnya. Siapa ingin mencoba “sambel goang”, silahkan bikin sendiri. mudah kok?
Previous
Next Post »
0 Komentar